Kamis, 17 Juli 2014

Sebuah Papan Nama (Hati Seorang Rayya Chapter 4)



Chapter 4 : Sebuah Papan Nama


Aku baru selesai menyisir rambut sebahuku yang hitam tebal ketika kudengar pintu diketuk. Aku berlari membukakan pintu. Tampak Rio tetanggaku yang juga kakak kelasku di sekolah berdiri dengan muka serius,aku sedikit heran,tak biasanya Rio seserius ini,anak itu selalu kocak dimanapun kulihat. Ternyata Rio tak datang sendiri,di belakangnya berdiri seorang cowok yang masih berseragam SMA,dia berdiri membelakangi kami.

“Rio,ada apa?tumben sore-sore begini ke rumah”.Rio mengusap peluh di dahinya.

“Rayya,kamu kenal Pandu?”tanyanya dengan mimik yang serius. Begitu mendengar nama Pandu disebut,ntah kenapa firasat buruk hinggap di hatiku.Cowok teman Rio tadi menoleh,Ya Allah..itu Radit,kakak kelasku yang terkenal nakal,hoby tawuran,hoby balap liar.Ada apa dengan Pandu,seribu pertanyaan berkecamuk di benakku.

“Iya dia teman sekelasku,kenapa dengannya?dia berantem?”berondongku sambil melirik ke arah Radit.Radit hanya diam.

“Bukan….Pandu..Pandu kecelakaan”Rio menjawab dengan cepat.Bagai disambar petir aku mendengar berita itu.

“Gak mungkin,beberapa jam yang lalu aku baru ketemu sama dia”ucapku tak percaya.

“Kecelakannya baru aja,sampe sekarang keluarganya belum ada yang tahu,dia gak bawa tas,gak bawa identitas diri apapun.Jadi polisi dan pihak rumah sakit gak bisa berbuat apa-apa. Makanya aku kesini,siapa tahu kamu tahu rumahnya.Dan cuma ini yang kami punya”.terang Rio panjang lebar sambil menyerahkan papan nama Pandu yang dirobek dari seragam sekolahnya.

Kuterima papan nama itu dengan perasaan campur aduk. PANDU DEWANATA.Nama itu tertulis jelas disitu,Ya Allah..Pandu,bagaimana denganmu,papan nama itu begitu kotor,ada bercak darah disitu.Tiba-tiba bayangan Pandu berkelebat. Pandu yang tersenyum riang memamerkan giginya yang gingsul.Aku merasa hatiku diremas tangan raksasa ketika mengingatnya.

“YA Allah Panduuu…”bisikku parau.

“Rayya,kita harus bergegas,keadaan Pandu sangat parah,dia sekarang masih di rumah sakit,tapi pihak rumah sakit angkat tangan,keluarganya harus tahu sekarang juga”desak Rio.Aku menggigit bibirku kuat-kuat menahan tangis mendengar kenyataan bahwa luka Pandu sangat parah.

“Rio,aku  gak tahu dimana rumahnya,teman-teman sekelasku juga gak ada yang tahu..tapi…tunggu bentar. Wedha..ya..Wedha,dia temen SMP Pandu,dia pasti tahu rumahnya.”Rio mengangguk kemudian bergegas menaiki motornya.

“Rio aku ikut..”Rio mengangguk,aku bergegas ke dalam rumah untuk berganti baju.Tapi kakak tertuaku datang menengahi.

“Rayya,ini sudah mau Magrib,kamu di rumah aja,biar temenmu diurusin sama temenmu yang cowok-cowok”perintah kakakku tegas.Nada yang sama,yg berarti perintah itu tidak bisa dibantah.

“Tapi Kak…”potongku.

“Gak ada tapi-tapian..kamu tetap di rumah.”Aku pun meyerah.

“Udah Rayya,kamu di rumah,aku sama Radit biar urus semua ini,doakan aja,semoga Pandu selamat.”hibur Rio,aku mengangguk.

“Trima kasih kak Radit.”ucapku.Radit hanya mengangguk kemudian mereka berdua meninggalkanku yang masih berdiri mematung.

Entah mengapa aku merasa sangat ketakutan. Aku takut sesuatu yang buruk akan menimpa Pandu.Gak..gak..gak..Pandu gak pa-pa,dia harus sembuh dan baik-baik aja.

Aku masuk ke kamarku dan duduk di tempat tidurku yang hangat. Kupeluk boneka dari pandu.

“Pandu..tunggu aku,beri aku kesempatan untuk minta ma’af sama kamu.”Butiran bening turun dari kedua bola mataku.
***

Aku menunduk sepanjang perjalanan menuju kelasku. Baru saja aku sampai di depan pintu,teman-temanku merubungiku,aku tahu apa yang akan mereka tanyakan. Aku mendesah pelan.

“Rayya gimana Pandu”Gading membuka suara,aku menatapnya sekilas,mata coklatnya bergerak panik.

“Rayya,kapan kejadiannya.”Pram menimpali.

“Sekarang Pandu di rumah sakit mana”Rully ikut nimbrung.

“Lukanya gak parah kan?Cuma memar-memar kan”Rere ikut menyumbang suara.Aku hanya diam seribu bahasa diberondongi pertanyaan yang bertubi-tubi.

“Heh..heh..heh..satu-satu tanyanya,si Rayya jadi bingung.”Yudha ketua kelas kami yang bertubuh tinggi kurus menengahi.Aku menghela nafas.

“Pandu sekarang dibawa ke rumah sakit provinsi,lukanya terlalu parah,rumah sakit kota gak sanggup,itu kabar terakhir yang kudengar.”jawabku dengan menunduk.

“Separah apa Rayya”.nada khawatir terlihat jelas ketika Gading berbicara.

“Aku gak tahu..”aku semakin dalam menyembunyikan wajah chubbyku.Aku berjalan ke mejaku,diikuti Rere dan Rully.Rully duduk di sampingku,di sampingnya berdiri Fia.Rere duduk di kursi belakangku bersama Rossi.Wajah mereka cemas,bertanya-tanya,menunggu aku berbicara.Aku memandang mereka satu per satu. Dalam hatiku bergejolak,sekuat tenaga aku menahan tangis.Tiba-tiba Rully menarikku,merangkulku,pertahananku luruh sudah,aku menangis sesunggukan di bahunya,kupeluk Rully erat-erat,dia mengelus-elus punggungku berusaha menenangkanku.

“Rully aku takut..aku takut terjadi sesuatu sama Pandu…aku belum minta ma’af,”tangisku menyesali kesalahanku.

“Gak akan terjadi apa-apa sama Pandu,dia akan baik-baik aja,dia akan sembuh,dan kembali berkumpul lagi sama kita”hibur Rully.

“Tenang Rayya,tanpa kamu minta,Pandu pasti udah ma’afin kamu kok.”Rere menambahkan.

“Rayya,gak usah nangis,gak akan terjadi apa-apa,doa’akan aja yang terbaik.Pandu bakalan baik-baik aja.”Tanjung berkata sambil mengacak-acak poniku.Aku memaksakan senyum.

“Siang ini sampe Minggu besok kita kan ada pelantikan penegak,jadi kita belom bisa tengok Pandu.Senin kita tengok bareng-bareng.OK”Yudha menambahkan.Aku mengangguk.

“Udah…gak usah sedih,pacarmu baik-baik aja kok”Tanjung berusaha membuatku tertawa.Aku hanya tersenyum tipis.Tiba-tiba Rully tertawa.

“Ehm…lihat kamu nangis,sedihhh sampe kayak gini,aku jadi bisa simpulin satu hal,kamu juga sayang kan sama si Pandu”.Aku terkesiap,sedang yang lain tertawa renyah.Aku hanya diam. Sayang…ya..mungkin aku menyayanginya,tapi aku gak tahu,ini perasaan sayang atau sekedar rasa bersalah.Tapi yang jelas,aku takut kehilangannya,aku sangat takut kehilangannya.

Jauh di lubuk hatiku,aku memiliki firasat yang buruk,aku yakin pandu mema’afkanku,tapi entah mengapa aku merasa,aku dan dia gak akan mungkin bisa bersama.

Ya Allah..semoga ini bukan firasat,semoga ini hanya ketakutanku saja.

Ya Allah kumohon padaMu sekali ini saja,selamatkan Pandu,beri aku kesempatan bertemu dengannya sekali saja,beri aku kesempatan meminta ma’af padanya. Jika dia sembuh ya Allah,apapun keadaannya,aku akan selalu sayang dia Ya Allah..aku akan menjaganya,aku janji padaMu.
Aku gak peduli jika kecelakaan itu membuatnya tak lagi sempurna,aku gak peduli dengan matanya yang sipit,aku gak peduli dengan perilakunya yang pecicilan dan norak,aku gak peduli meskipun dia selalu remidi di tiap ulangannya dan terlebih aku gak peduli jika nanti Vida,Silla dan Annisa mengejekku karena aku kemakan omongan sendiri. Aku gak peduli dengan semua itu Ya Allah,tolong selamatkan dia.
***

Kelelahan jelas terasa di sekujur tubuhku,tiga hari aku mengikuti kemah pelantikan penegak di sekolahku. Dari Jum’at kemarin,sampai Minggu siang tadi. Badanku luar biasa capek,tapi aku harus pergi ke rumah Wedha,aku harus menanyakan kabar Pandu.Pandu....mengingat nama itu setitik perih kembali menderaku.

Selepas Magrib,aku mengemudikan motorku ke rumah Wedha yang jaraknya tak begitu jauh dari rumahku.

Di sepanjang jalan aku tersenyum-senyum membayangkan pertemuanku dengan Pandu besok. Aku akan menggenggam tangannya,meminta ma’af dan aku akan bilang kalo aku sangat menyayanginya.Aku memarkirkan motorku tepat di depan rumah Wedha. Aku mengetuk pintu,sekali dua kali,Weda tak kunjung membukakan pintu,aku terus menunggu.Beberapa saat kemudian gadis berambut ikal itu muncul di hadapanku,melihat kedatanganku rona mukanya langsung berubah seketika.Aku  tersenyum ramah.

“Wedha…gimana keadaan Pandu,dia di rawat di rumah sakit mana?besok aku sama temen-temen mau nengok”berondongku bersemangat,senyum tak pernah hilang dari bibirku. Wedha hanya terdiam,memandangiku dengan tatapan yang gak bisa kujelaskan.

“Wedha,kamu kok diem,Pandu gimana”desakku masih dengan tersenyum.

“Pan…Pandu..Pandu sudah meninggal Ray tadi siang,jam 10”kata—kata yang meluncur dari mulut Wedha bagai belati tajam yang menebas sepotong hatiku. Aku berusaha mencerna kata-katanya,berusaha memastikan bahwa yang kudengar itu salah,kutatap mata Wedha dalam-dalam dengan mata beningku,aku berharap ada kebohongan disitu,aku berharap Wedha akan melonjak dan berteriak “Aku bercanda..”kemudian tertawa terbahak-bahak.Tapi..tak kutemukan kebohongan itu,Wedha pun tidak melonjak sambil tergelak,dia tetap berdiri mematung sambil memegangi telapak tanganku yang dingin.

Entah mengapa,aku merasa jantungku berhenti berdetak,aku merasa dunia berhenti berputar untuk sesaat,aku tidak merasakan sakit,aku tidak merasakan sedih,sungguh,aku tidak merasakan apa-apa.

Aku diam mematung tanpa sepatah katapun keluar dari bibir tipisku.Wedha menyadari keadaanku,kecemasan mulai timbul di hatinya.

“Rayya..Rayya,kamu gak apa-apa kan”Wedha menepuk-nepuk pipi chubby-ku.Aku berkedip,tersadar. Wedha begitu khawatir,melihatku terus terdiam bagai membatu,sungguh,aku gak bisa menggerakkan anggota tubuhku,aku begitu shock.

“Wedha,aku pulang dulu ya..”akhirnya sebaris kalimat meluncur dari mulutku,susah payah aku mengucapkan kalimat itu. Aku melangkah dengan gontai ke arah motorku. Kumasukkan kunci motor ke lubang kunci dengan susah payah,tanganku gemetaran hebat,lubang kunci itu sungguh susah kutemukan,akhirnya aku menyerah,kulemparkan kunci motor itu dan aku bersimpuh,tak mempedulikan tanah yang kotor.Sekonyong kurasakan kesakitan yang luar biasa menyergap batinku,mengepungku tanpa ampun,kesakitan yang tak pernah kurasakan sebelumnya.Rasa sakit kehilangan.

Aku kembali bisa merasakan panc a inderaku berfungsi,bahkan aku merasakan langit di atas kepalaku seakan mulai runtuh. Aku bersujud di tanah yang kotor itu,menangis sejadi-jadinya,tapi tak ada suara tangisan yang mampu keluar dari mulutku,tangisan tertahan,jeritan tertahan.

Wedha berlari memelukku,membangunkan aku yang bersimpuh di tanah yang kotor,aku menangis meraung-raung di pelukan Wedha..Aku menangis histeris,akhirnya keluar sudah semua kesakitan yang kurasakan,aku menangis dan menangis,tak peduli dengan orang yang berdatangan ke rumah Wedha,mereka bertanya-tanya apa yang terjadi padaku.

Tapi aku tak perduli,aku hanya ingin menangis,aku ingin Pandu,aku igin Pandu kembali.
“Innalillahi wa inna ilahi roji’un…PANDUUUUUU…..”lolongku memecah langit malam itu.

*Aku berusaha secepatnya menyelesaikan cerita Pandu sobat...harus selesai..

0 komentar:

Posting Komentar