Chapter 4 : Sebuah Papan Nama
Aku baru selesai menyisir rambut sebahuku yang hitam tebal
ketika kudengar pintu diketuk. Aku berlari membukakan pintu. Tampak Rio
tetanggaku yang juga kakak kelasku di sekolah berdiri dengan muka serius,aku
sedikit heran,tak biasanya Rio seserius ini,anak itu selalu kocak dimanapun
kulihat. Ternyata Rio tak datang sendiri,di belakangnya berdiri seorang cowok
yang masih berseragam SMA,dia berdiri membelakangi kami.
“Rio,ada apa?tumben sore-sore begini ke rumah”.Rio mengusap
peluh di dahinya.
“Rayya,kamu kenal Pandu?”tanyanya dengan mimik yang serius.
Begitu mendengar nama Pandu disebut,ntah kenapa firasat buruk hinggap di
hatiku.Cowok teman Rio tadi menoleh,Ya Allah..itu Radit,kakak kelasku yang
terkenal nakal,hoby tawuran,hoby balap liar.Ada apa dengan Pandu,seribu
pertanyaan berkecamuk di benakku.
“Iya dia teman sekelasku,kenapa dengannya?dia
berantem?”berondongku sambil melirik ke arah Radit.Radit hanya diam.
“Bukan….Pandu..Pandu kecelakaan”Rio menjawab dengan
cepat.Bagai disambar petir aku mendengar berita itu.
“Gak mungkin,beberapa jam yang lalu aku baru ketemu sama
dia”ucapku tak percaya.
“Kecelakannya baru aja,sampe sekarang keluarganya belum ada
yang tahu,dia gak bawa tas,gak bawa identitas diri apapun.Jadi polisi dan pihak
rumah sakit gak bisa berbuat apa-apa. Makanya aku kesini,siapa tahu kamu tahu
rumahnya.Dan cuma ini yang kami punya”.terang Rio panjang lebar sambil
menyerahkan papan nama Pandu yang dirobek dari seragam sekolahnya.
Kuterima papan nama itu dengan perasaan campur aduk. PANDU
DEWANATA.Nama itu tertulis jelas disitu,Ya Allah..Pandu,bagaimana
denganmu,papan nama itu begitu kotor,ada bercak darah disitu.Tiba-tiba bayangan
Pandu berkelebat. Pandu yang tersenyum riang memamerkan giginya yang gingsul.Aku
merasa hatiku diremas tangan raksasa ketika mengingatnya.
“YA Allah Panduuu…”bisikku parau.
“Rayya,kita harus bergegas,keadaan Pandu sangat parah,dia
sekarang masih di rumah sakit,tapi pihak rumah sakit angkat tangan,keluarganya
harus tahu sekarang juga”desak Rio.Aku menggigit bibirku kuat-kuat menahan
tangis mendengar kenyataan bahwa luka Pandu sangat parah.
“Rio,aku gak tahu
dimana rumahnya,teman-teman sekelasku juga gak ada yang tahu..tapi…tunggu
bentar. Wedha..ya..Wedha,dia temen SMP Pandu,dia pasti tahu rumahnya.”Rio
mengangguk kemudian bergegas menaiki motornya.
“Rio aku ikut..”Rio mengangguk,aku bergegas ke dalam rumah
untuk berganti baju.Tapi kakak tertuaku datang menengahi.
“Rayya,ini sudah mau Magrib,kamu di rumah aja,biar temenmu
diurusin sama temenmu yang cowok-cowok”perintah kakakku tegas.Nada yang sama,yg
berarti perintah itu tidak bisa dibantah.
“Tapi Kak…”potongku.
“Gak ada tapi-tapian..kamu tetap di rumah.”Aku pun meyerah.
“Udah Rayya,kamu di rumah,aku sama Radit biar urus semua ini,doakan
aja,semoga Pandu selamat.”hibur Rio,aku mengangguk.
“Trima kasih kak Radit.”ucapku.Radit hanya mengangguk
kemudian mereka berdua meninggalkanku yang masih berdiri mematung.
Entah mengapa aku merasa sangat ketakutan. Aku takut sesuatu
yang buruk akan menimpa Pandu.Gak..gak..gak..Pandu gak pa-pa,dia harus sembuh
dan baik-baik aja.
Aku masuk ke kamarku dan duduk di tempat tidurku yang
hangat. Kupeluk boneka dari pandu.
“Pandu..tunggu aku,beri aku
kesempatan untuk minta ma’af sama kamu.”Butiran bening turun dari kedua bola
mataku.
***
Aku menunduk sepanjang perjalanan menuju kelasku. Baru saja
aku sampai di depan pintu,teman-temanku merubungiku,aku tahu apa yang akan
mereka tanyakan. Aku mendesah pelan.
“Rayya gimana Pandu”Gading membuka suara,aku menatapnya
sekilas,mata coklatnya bergerak panik.
“Rayya,kapan kejadiannya.”Pram menimpali.
“Sekarang Pandu di rumah sakit mana”Rully ikut nimbrung.
“Lukanya gak parah kan?Cuma memar-memar kan”Rere ikut
menyumbang suara.Aku hanya diam seribu bahasa diberondongi pertanyaan yang
bertubi-tubi.
“Heh..heh..heh..satu-satu tanyanya,si Rayya jadi
bingung.”Yudha ketua kelas kami yang bertubuh tinggi kurus menengahi.Aku
menghela nafas.
“Pandu sekarang dibawa ke rumah sakit provinsi,lukanya
terlalu parah,rumah sakit kota gak sanggup,itu kabar terakhir yang
kudengar.”jawabku dengan menunduk.
“Separah apa Rayya”.nada khawatir terlihat jelas ketika Gading
berbicara.
“Aku gak tahu..”aku semakin dalam menyembunyikan wajah
chubbyku.Aku berjalan ke mejaku,diikuti Rere dan Rully.Rully duduk di
sampingku,di sampingnya berdiri Fia.Rere duduk di kursi belakangku bersama
Rossi.Wajah mereka cemas,bertanya-tanya,menunggu aku berbicara.Aku memandang
mereka satu per satu. Dalam hatiku bergejolak,sekuat tenaga aku menahan
tangis.Tiba-tiba Rully menarikku,merangkulku,pertahananku luruh sudah,aku
menangis sesunggukan di bahunya,kupeluk Rully erat-erat,dia mengelus-elus
punggungku berusaha menenangkanku.
“Rully aku takut..aku takut terjadi sesuatu sama Pandu…aku
belum minta ma’af,”tangisku menyesali kesalahanku.
“Gak akan terjadi apa-apa sama Pandu,dia akan baik-baik
aja,dia akan sembuh,dan kembali berkumpul lagi sama kita”hibur Rully.
“Tenang Rayya,tanpa kamu minta,Pandu pasti udah ma’afin kamu
kok.”Rere menambahkan.
“Rayya,gak usah nangis,gak akan terjadi apa-apa,doa’akan aja
yang terbaik.Pandu bakalan baik-baik aja.”Tanjung berkata sambil mengacak-acak
poniku.Aku memaksakan senyum.
“Siang ini sampe Minggu besok kita kan ada pelantikan
penegak,jadi kita belom bisa tengok Pandu.Senin kita tengok bareng-bareng.OK”Yudha
menambahkan.Aku mengangguk.
“Udah…gak usah sedih,pacarmu baik-baik aja kok”Tanjung
berusaha membuatku tertawa.Aku hanya tersenyum tipis.Tiba-tiba Rully tertawa.
“Ehm…lihat kamu nangis,sedihhh sampe kayak gini,aku jadi
bisa simpulin satu hal,kamu juga sayang kan sama si Pandu”.Aku terkesiap,sedang
yang lain tertawa renyah.Aku hanya diam. Sayang…ya..mungkin aku
menyayanginya,tapi aku gak tahu,ini perasaan sayang atau sekedar rasa
bersalah.Tapi yang jelas,aku takut kehilangannya,aku sangat takut
kehilangannya.
Jauh di lubuk hatiku,aku memiliki firasat yang buruk,aku
yakin pandu mema’afkanku,tapi entah mengapa aku merasa,aku dan dia gak akan
mungkin bisa bersama.
Ya Allah..semoga ini bukan firasat,semoga ini hanya
ketakutanku saja.
Ya Allah kumohon padaMu sekali
ini saja,selamatkan Pandu,beri aku kesempatan bertemu dengannya sekali
saja,beri aku kesempatan meminta ma’af padanya. Jika dia sembuh ya Allah,apapun
keadaannya,aku akan selalu sayang dia Ya Allah..aku akan menjaganya,aku janji
padaMu.
Aku gak peduli jika kecelakaan
itu membuatnya tak lagi sempurna,aku gak peduli dengan matanya yang sipit,aku
gak peduli dengan perilakunya yang pecicilan dan norak,aku gak peduli meskipun
dia selalu remidi di tiap ulangannya dan terlebih aku gak peduli jika nanti
Vida,Silla dan Annisa mengejekku karena aku kemakan omongan sendiri. Aku gak
peduli dengan semua itu Ya Allah,tolong selamatkan dia.
***
Kelelahan jelas terasa di sekujur tubuhku,tiga hari aku
mengikuti kemah pelantikan penegak di sekolahku. Dari Jum’at kemarin,sampai
Minggu siang tadi. Badanku luar biasa capek,tapi aku harus pergi ke rumah
Wedha,aku harus menanyakan kabar Pandu.Pandu....mengingat nama itu setitik
perih kembali menderaku.
Selepas Magrib,aku mengemudikan motorku ke rumah Wedha yang
jaraknya tak begitu jauh dari rumahku.
Di sepanjang jalan aku tersenyum-senyum membayangkan
pertemuanku dengan Pandu besok. Aku akan menggenggam tangannya,meminta ma’af
dan aku akan bilang kalo aku sangat menyayanginya.Aku memarkirkan motorku tepat
di depan rumah Wedha. Aku mengetuk pintu,sekali dua kali,Weda tak kunjung
membukakan pintu,aku terus menunggu.Beberapa saat kemudian gadis berambut ikal
itu muncul di hadapanku,melihat kedatanganku rona mukanya langsung berubah
seketika.Aku tersenyum ramah.
“Wedha…gimana keadaan Pandu,dia di rawat di rumah sakit
mana?besok aku sama temen-temen mau nengok”berondongku bersemangat,senyum tak
pernah hilang dari bibirku. Wedha hanya terdiam,memandangiku dengan tatapan
yang gak bisa kujelaskan.
“Wedha,kamu kok diem,Pandu gimana”desakku masih dengan
tersenyum.
“Pan…Pandu..Pandu sudah meninggal Ray tadi siang,jam
10”kata—kata yang meluncur dari mulut Wedha bagai belati tajam yang menebas
sepotong hatiku. Aku berusaha mencerna kata-katanya,berusaha memastikan bahwa
yang kudengar itu salah,kutatap mata Wedha dalam-dalam dengan mata beningku,aku
berharap ada kebohongan disitu,aku berharap Wedha akan melonjak dan berteriak
“Aku bercanda..”kemudian tertawa terbahak-bahak.Tapi..tak kutemukan kebohongan
itu,Wedha pun tidak melonjak sambil tergelak,dia tetap berdiri mematung sambil
memegangi telapak tanganku yang dingin.
Entah mengapa,aku merasa jantungku berhenti berdetak,aku
merasa dunia berhenti berputar untuk sesaat,aku tidak merasakan sakit,aku tidak
merasakan sedih,sungguh,aku tidak merasakan apa-apa.
Aku diam mematung tanpa sepatah katapun keluar dari bibir
tipisku.Wedha menyadari keadaanku,kecemasan mulai timbul di hatinya.
“Rayya..Rayya,kamu gak apa-apa kan”Wedha menepuk-nepuk pipi
chubby-ku.Aku berkedip,tersadar. Wedha begitu khawatir,melihatku terus terdiam
bagai membatu,sungguh,aku gak bisa menggerakkan anggota tubuhku,aku begitu
shock.
“Wedha,aku pulang dulu ya..”akhirnya sebaris kalimat
meluncur dari mulutku,susah payah aku mengucapkan kalimat itu. Aku melangkah
dengan gontai ke arah motorku. Kumasukkan kunci motor ke lubang kunci dengan
susah payah,tanganku gemetaran hebat,lubang kunci itu sungguh susah
kutemukan,akhirnya aku menyerah,kulemparkan kunci motor itu dan aku
bersimpuh,tak mempedulikan tanah yang kotor.Sekonyong kurasakan kesakitan yang
luar biasa menyergap batinku,mengepungku tanpa ampun,kesakitan yang tak pernah
kurasakan sebelumnya.Rasa sakit kehilangan.
Aku kembali bisa merasakan panc a inderaku berfungsi,bahkan
aku merasakan langit di atas kepalaku seakan mulai runtuh. Aku bersujud di
tanah yang kotor itu,menangis sejadi-jadinya,tapi tak ada suara tangisan yang
mampu keluar dari mulutku,tangisan tertahan,jeritan tertahan.
Wedha berlari memelukku,membangunkan aku yang bersimpuh di
tanah yang kotor,aku menangis meraung-raung di pelukan Wedha..Aku menangis
histeris,akhirnya keluar sudah semua kesakitan yang kurasakan,aku menangis dan
menangis,tak peduli dengan orang yang berdatangan ke rumah Wedha,mereka bertanya-tanya
apa yang terjadi padaku.
Tapi aku tak perduli,aku hanya ingin menangis,aku ingin
Pandu,aku igin Pandu kembali.
“Innalillahi wa inna ilahi roji’un…PANDUUUUUU…..”lolongku
memecah langit malam itu.*Aku berusaha secepatnya menyelesaikan cerita Pandu sobat...harus selesai..
0 komentar:
Posting Komentar