Chapter 5 : Duka yang Menyelimuti Kelasku
Aku berlari menuju kamarku,masih dengan berurai air mata.
Kututup pintu kamarku dan aku bersandar di balik daun pintu, kaki-kakiku lemas
seolah tak sanggup menahan beban tubuhku. Aku menggelosor begitu saja di balik
pintu,memeluk lututku erat-erat. Kesakitan luar biasa muncul dalam bentuk isak
dan derasnya air mata yang tak henti mengalir dari kedua mataku.
Kenapa Kau lakukan ini padaku ya Allah…Kenapa kau hukum aku
sampai seperti ini. Aku hanya ingin minta ma’af padanya tapi kau tak
mengijinkannya, bahkan Kau tak memberiku kesempatan untuk melihatnya yang terakhir kali. Kenapa Ya Allah kenapa…
Kubenamkan dalam-dalam wajah sembabku dalam lututku,susah
payah kuhentikan tangis ini tapi aku gak bisa,air mata itu terus memaksa
keluar. Sesak dadaku menahan semua kepiluan ini.Tiba-tiba aku teringat
sesuatu,aku harus menghubungi Yudha ketua kelasku,memberitahukan berita buruk
ini.
Kuhapus air mataku dan kucari handphone bulukku di meja belajar.
Cairan bening masih terus meleleh di pipiku ketika kupencet nomor
Yudha.Beberapa saat kemudian terdengar nada sambung.
“Hallo..”suara Yudha terdengar dari seberang. Tiba-tiba aku
tercekat,gak ada suara yang bisa keluar dari mulutku. Yang keluar hanya isak
yang tak tertahan.
“Hallo Rayya..Rayya kamu disitu..”Yudha mulai panik.Kupejamkan
mata rapat-rapat dan kutarik nafas dalam-dalam berusaha menyingkirkan perih di
hatiku untuk beberapa saat.
“Yud..Yudha…Pandu..Pandu udah gak ada..”ucapku parau,di sela
isakku.
“Maksud..maksudmu gimana Ray..suaramu gak jelas”suara Yudha
semakin panik.Aku menelan ludah susah payah. Kuhela nafas berat sekali lagi.
“Yudha..Pandu udah gak ada,dia udah meninggal siang
tadi..”tangisku pecah lagi ketika mengucapkan kalimat itu,aku kembali meraung
dengan handphone di genggamanku.Semenit dua menit,Yudha tak berkata-kata,kami
membisu dengan handphone di tangan masing-masing.
“Yudha..kenapa kamu diam aja,jawab aku..katakan sesuatu Yudha…”ratapku,diamnya
Yudha semakin menambah pilu hatiku.
“Kita doakan Pandu,Cuma itu yang bisa kita lakukan. Rayya
berhentilah menangis,ambil air wudhu,berdoa,aku akan kasih kabar ke anak-anak
yang lain.”Aku hanya diam,kutekan tombol merah di HP ku.
Aku kembali memeluk lututku,menangis lagi dan lagi.Beberapa
saat kemudian aku bangkit,berjalan ke kamar mandi.Kuambil air wudhu,sejuk
terasa saat air wudhu membasahi mukaku.Hatiku masih perih,aku melangkah gontai
ke kamarku. Kubuka al-qur’anku,Surat Yasin.
Kubaca perlahan ayat demi ayat dengan susah payah,jajaran
kalam Illahi itu kabur di pandanganku oleh air mata. Sesekali kuusap air mata
yang terus mengalir dengan jilbabku,aku berusaha menyelesaikan bacaanku,tapi di
tengah bacaan,bayangan Pandu melintas,matanya yang sipit hanya tinggal segaris
saat dia tertawa,giginya yang gingsul dan rambut lurusnya yang bergaya spiky.
Hatiku serasa dicabik-cabik belati tajam,aku menyurukkan wajahku ke Al-qur’an
yang kubaca,menangis sejadi-jadinya. Ya Allah…pegangi hatiku,pegangi aku ya
Allah.Kuatkan aku..kuatkan hatiku dalam menjalani takdirMu.
Ya Allah jadikan urusanku dengannya menjadi urusanku denganMu,sampaikan
ma’afku padanya Ya Allah..sampaikan
ma’afku.Lapangkan kuburnya,beri dia tempat terbaik di sisihMu.Ampuni segala
dosanya dan terimalah semua amal ibadahnya.Kuusap air mataku dan kuteruskan
bacaanku hingga selesai.
Aku menutup al-qur’anku dan berjalan ke kasurku yang
nyaman,aku membaringkan tubuh mungilku,memejamkan mataku rapat rapat.Aku ingin
tidur,aku hanya ingin tidur. Aku ingin bertemu dengannya dalam mimpiku,aku
ingin bertemu dengannya. Aku Cuma ingin minta ma’af.
Aku ingin tidur,aku ingin tidur. Supaya besok pagi ketika
aku membuka mata nanti,aku menyadari kalo semua yang terjadi ini hanya mimpi
buruk.Dan setelah itu aku kembali melihat Pandu di atas motornya, di depan
rumahku,menjemputku berangkat sekolah. Aku ingin tidur Ya Allah..tidurkanlah
aku.
Tapi..sedekitpun aku gak bisa
tertidur meskipun mataku terpejam rapat. Aku bangkit,kuambil lagi Al-qur’an di
mejaku,aku membacanya lagi,Cuma itu yang bisa kulakukan saat ini untuk
Pandu,aku membacanya berulang-ulang sepanjang malam hingga akhirnya aku jatuh
tertidur.
***
Adzan subuh berkumandang,membangunkanku dari tidurku. Aku
terkesiap,sontak aku bangkit berdiri. Ya Allah benar kan semua hanya mimpi.Aku
berpaling ke cermin di dindingku.Kulihat bayangan diriku,mata sembab
itu,lingkar hitam di bawah mata itu tampak sangat jelas disitu. Aku berpaling
ke kasurku,tampak olehku al-qur’an yang tergeletak. Semua itu
menyadarkanku,kalo aku gak pernah mimpi.Bahwa semua yang terjadi semalam memang
nyata,bahwa Pandu memang benar-benar telah meninggalkanku.Hujan kembali turun
dari bola mataku.Kuusap air mataku,kemudian
aku berjalan ke kamar mandi mengambil air wudhu,menunaikan sholat
Subuhku.
Setelah rutinitas pagi seperti biasanya,aku bersiap-siap ke
sekolah.Berjalan kaki menuju pemberhentian bis,yahh..mulai hari ini aku harus
terbiasa kembali naik bis seperti semula,karena gak akan ada lagi Pandu yang
mengantar jemputku.
Sekonyong perih kembali terasa di ulu hatiku,mataku
perih,siap menumpahkan airnya. Begitu perih dan panasnya air mataku,seolah
kurasakan yang keluar dari mataku bukanlah air mata,melainkan percikan
api.Kuhapus air mataku dengan segera ketika bis berhenti tepat di depan mataku.
“Aku gak boleh nangis lagi. Gak
boleh,sudah cukup aku menangis semalaman.”tekadku.
***
Ketika aku turun dari bus,kudapati Gading berjalan di luar
gerbang sekolah. Hatiku kembali berdarah ketika kulihat Gading. Mereka begitu
mirip dari segi postur,melihat Gading sama halnya aku melihat Pandu di hadapanku.Dengan
perasaan berkecamuk kuhampiri Gading,dari jauh kulihat senyum merekah di
bibirnya yang merah melihatku bergerak mendekat. Rona mukanya berubah,senyum
hilang dari wajahnya ketika melihat mukaku yang sembab.Aku mematung di
hadapannya.Gading hanya diam.
“Gading…Pandu..udah gak ada,dia udah meninggal.”kata-kataku
itu kembali mengucurkan darah di hatiku.Sekuat tenaga aku bertahan untuk tidak
menangis.Tapi..pertahananku luruh sudah ketika kulihat ekspresi Gading. Tidak
ada sepatahpun kata yang mampu keluar dari mulutnya,wajahnya kaku,dia tak
bergerak seincippun dari tempatnya berdiri.
“Gading kenapa kamu diam aja..”semburku dengan tangisan.Gading
masih saja diam,matanya merah,lalu dia berpaling dan berjalan meninggalkanku
tanpa suara.Aku msih berdiri di luar gerbang,berusaha menenangkan hatiku.Aku
menunduk dalam-dalam,kutelan air mataku.Ketika kuangkat wajahku aku melihat
Bang Rizal teman sekelasku,aku biasa memanggilnya dengan panggilan abang.
Bang Rizal menghampiriku dengan pandangan iba. Serta merta
dia memelukku,tangisku pecah di pelukannya,aku menangis sejadi-jadinya.
“Bang Rizal…Pandu Bang..”ratapku.Bang rizal mengelus-elus
punggungku,berusaha menenangkanku.
“Sabar Ray,ini udah takdirnya,ikhlasin dia,biar dia tenang
disana.”lembut suara bang Rizal terdengar di telingaku,aku bangkit dari
pelukannya,menghapus air mataku.
“Jangan nangis Rayya,nanti anak-anak yang lain tambah sedih
kalo lihat kamu kayak gini”.Aku mengangguk,bang Rizal membimbingku menuju
kelasku,dia lingkarkan lengannya di pundakku,aku berusaha menenangkan hatiku.Ya
Allah aku tak sanggup menghadapi teman-temanku,aku tak sanggup melihat
kesedihan mereka.Aku berhenti beberapa
meter dari pintu,mencoba menguatkan hatiku.Bang Rizal menepuk pundakku
memberikan semangat.Dia terus merangkulku seolah aku ini Kristal yang rapuh.Aku
terus menunduk.Berdebar jantungku ketika kulangkahkan kakiku memasuki kelas
yang biasanya riuh.Pagi ini kelas begitu hening,tak ada lagi suara Prima yang
heboh menyanyikan “Ada Apa Denganmu.”
Kuangkat wajahku,kuedarkan pandangan.Kutatap wajah di kelas
itu satu per satu. Tampak olehku Prima yang sesunggukan ,menunduk memegangi
dahinya. Ramadhan yang biasanya galak,dia menangis tersedu-sedu.Raka,Tyo dan
Isnu yang biasanya gagah,mata mereka merah.Yudha,makhluk tanpa eksprei
itu,menunduk,matanya merah.Tanjung yang biasanya lucu,kini memandangku dengan terisak-isak.Kristin yang memegangi dadanya brusaha menghilangkan
sesak karena tangis.Dan dipojok sana,Gading,Gading yang paling melukaiku karena
mengingatkanku akan Pandu,sahabat karibnya,dia hanya bisa diam kaku tanpa
ekspresi.Gak ada emosi apapun yang terlihat dari wajahnya.Dan
terakhir,sahabat-sahabat baikku Rully,Rere dan Rossi yang meraung-raung di
mejanya. Semua berduka,semua bersedih,semua kehilangan sosok Pandu yang
baik,sosok Pandu yang ramah,sosok Pandu yang ceria,yang pecicilan.Kurasakan
kakiku melemas,bang Rizal semakin mempererat pegangannya di bahuku.
“Bang…aku gak kuat
Bang..”kurasakan tubuhku roboh begitu saja dibarengi teriakan Rully dan Rere
yang berlari ke arahku.Aku memejamkan mataku perih.Samar-samar bisa kurasakan
Rere memelukku dan berteriak-teriak histeris begitupun dengan Rully.Rere
mengguncang-guncangkan badanku sekuat tenaga. Aku gak bisa membuka mataku
Rere,aku gak bisa menggerakkan badanku.Dan kudengar pula suara berdebum,Rully
ambruk di sebelahku. Tyo dan Isnu tergopoh ke arahku,kudengar derap langkah dan
suara panik mereka,aku merasakan tubuhku diangkat dari lantai itu,entah
Tyo,entah Isnu.Hanya itu yang kuingat,sebelum gelap merenggut kesadaranku.
***
Ketika kubuka mataku kulihat langit-langit yang putih,aku
menggerakkan kepalaku ke samping,kulihat Isnu,Tio dan Tanjung memandangiku
dengan cemas dan iba.
Di sampingnya duduklah Rere yang juga lemas tanpa daya,sedangkan
Rully masih berbaring di ranjang satunya,kulihat air mata meleleh dari kedua
matanya.
“Udah sadar,minum dulu biar tenang”Tanjung menyodorkan
segelas air putih,aku menerimanya.Tyo menggenggam tanganku yang dingin,kemudian
mengelus rambutku yang berantakan. Teman-temanku,kalian sungguh baik padaku.
“Jangan nangis,habis ini kita sama-sama takziyah ke rumah
Pandu,kamu boleh ikut,tapi jangan nangis”ucap Tyo lembut,sambil tersenyum.Aku
memaksakan senyum dan mengangguk.
“Ma kasih Tyo.”ucapku pelan.
***
Tiga hari sudah Pandu pergi meninggalkan kami semua,tapi
semua masih beduka,semua masih bersedih. Kelasku tak lagi ramai,kelasku tak
lagi riuh. Gak ada lagi gurauan dan candaan. Prima kehilangan mood untuk
bernyanyi,Tanjung kehilangan selera untuk melucu. Gading dan Pram tak lagi
berlarian kesana-kemari. Semua wajah muram,semua wajah berduka. Tak terkecuali
wajahku. Mataku masih bengkak dan
sembab,tiga hari ini kerjaanku tak lain hanya menangis dan tidur. Di semua kesempatan,yang
kulakukan hanya tidur dan tidur.Aku ingin tidur dengan harapan bisa bertemu
Pandu di alam mimpi kemudian meminta ma’af padanya.Tapi itu tak pernah terjadi.
Tak sekalipun dia mampir ke mimpiku.
Siang itu aku duduk di kantin dikelilingi Rully,Rere,Rossi
dan Fia.
“Rayya aku tahu ini berat buatmu,tapi kamu harus
ikhlas,kasihan Pandu kalo kamu kayak gini terus.Dia nanti gak tenang.”Rossi
membuka suara.
“Iya Rayya,ikhlaskan dia. Pandu gak pengen lihat kamu kayak
gini.”Fia menambahi.
“Mana Rayyaku yang ceria,yang cerewet,yang tak pernah
berhenti ketawa.”Ujar Rere sambil memelukku,Rully hanya diam,mungkin dia sama
terpukulnya denganku.
“Aku ikhlas teman-teman,tapi aku belum bisa ngilangin
sedihku.Aku gak bisa ngilangin rasa bersalahku.”ucapku pelan.
“Usahakan,demi Pandu,demi ketenangannya.”Fia berkata bijak.Aku
mengangguk.
“Nah,sekarang makan,aku tahu kamu dari kemarin belum makan
kan?”Rossi menyodorkan sepiring rames padaku.
“Perutku laper ,tapi aku gak bisa makan.”ucapku sambil
menunduk.
“Iya tapi kamu harus makan.”Rully memaksaku memegang
sendok.Kupandangi nasi di depanku. Kusendok dan kumasukkan ke mulutku. Susah
payah aku menelannya,suapan kedua,tiba-tiba bayangan Pandu yang iseng merangkul
pundakku berkelebat. Aku menjatuhkan sendokku dan menutup mukaku dengan telapak
tanganku. Aku kembali terisak.Air mata merembes dari sela-sela jariku.
“Ma’afkan aku teman-teman,aku gak bisa..”ratapku masih
dengan menutup mukaku.
“Rayya..”Rere dan Rully memelukku dengan penuh haru.Rossi
dan Fia hanya bisa menyaksikan pemandangan itu dalam diam. Tak tahu harus
berbuat apa.
Jauh di ujung sana,ada seseorang yang menyaksikan
pemandangan itu tanpa kami sadari. Dia berdiri beberapa meter dari kami
menyaksikan tiap kejadian di kantin.Badannya tinggi dan tegap. Mata elangnya
yang berwarna coklat dan dinaungi alis yang tebal berkaca-kaca.
“Bro..semoga kamu dengar,aku janji sama kamu,akan aku jaga Rayya
buatmu. Aku akan kembalikan senyumnya seperti dulu. Aku janji Bro..”setetes
cairan bening meluncur dari matanya yang tajam.Dia berbalik,berjalan menjauh
dari kantin. Dari belakang,postur tubuhnya sama persis dengan Pandu hingga
orang sulit membedakan. Mereka sama-sama memiliki tubuh yang jangkung dan bahu
yang lebar. Mereka juga sama-sama memiliki kulit yang putih bersih dan senyum yang menawan. Dia terus melangkah menjauh dari kantin,hingga sosoknya yang gagah hilang di tikungan.
*"PANDU DEWANATA"(nama disamarkan),meski terlalu singkat kamu mengisi hari-hari kami,meski terlalu singkat kami mengenalmu,tapi kenangan tentangmu tak akan lekang di benak kami. PANDU DEWANATA teman sekelas kami,semoga kamu tenang disana Kawan.T_T
0 komentar:
Posting Komentar