Sabtu, 19 Juli 2014

Duka yang Menyelimuti Kelasku (Hati Seorang Rayya Chapter 5)


 


Chapter 5 :  Duka yang Menyelimuti Kelasku


Aku berlari menuju kamarku,masih dengan berurai air mata. Kututup pintu kamarku dan aku bersandar di balik daun pintu, kaki-kakiku lemas seolah tak sanggup menahan beban tubuhku. Aku menggelosor begitu saja di balik pintu,memeluk lututku erat-erat. Kesakitan luar biasa muncul dalam bentuk isak dan derasnya air mata yang tak henti mengalir dari kedua mataku.

Kenapa Kau lakukan ini padaku ya Allah…Kenapa kau hukum aku sampai seperti ini. Aku hanya ingin minta ma’af padanya tapi kau tak mengijinkannya, bahkan Kau tak memberiku kesempatan untuk melihatnya  yang terakhir kali. Kenapa Ya Allah kenapa…

Kubenamkan dalam-dalam wajah sembabku dalam lututku,susah payah kuhentikan tangis ini tapi aku gak bisa,air mata itu terus memaksa keluar. Sesak dadaku menahan semua kepiluan ini.Tiba-tiba aku teringat sesuatu,aku harus menghubungi Yudha ketua kelasku,memberitahukan berita buruk ini.

Kuhapus air mataku dan kucari handphone bulukku di meja belajar. Cairan bening masih terus meleleh di pipiku ketika kupencet nomor Yudha.Beberapa saat kemudian terdengar nada sambung.

“Hallo..”suara Yudha terdengar dari seberang. Tiba-tiba aku tercekat,gak ada suara yang bisa keluar dari mulutku. Yang keluar hanya isak yang tak tertahan.

“Hallo Rayya..Rayya kamu disitu..”Yudha mulai panik.Kupejamkan mata rapat-rapat dan kutarik nafas dalam-dalam berusaha menyingkirkan perih di hatiku untuk beberapa saat.

“Yud..Yudha…Pandu..Pandu udah gak ada..”ucapku parau,di sela isakku.

“Maksud..maksudmu gimana Ray..suaramu gak jelas”suara Yudha semakin panik.Aku menelan ludah susah payah. Kuhela nafas berat sekali lagi.

“Yudha..Pandu udah gak ada,dia udah meninggal siang tadi..”tangisku pecah lagi ketika mengucapkan kalimat itu,aku kembali meraung dengan handphone di genggamanku.Semenit dua menit,Yudha tak berkata-kata,kami membisu dengan handphone di tangan masing-masing.

“Yudha..kenapa kamu diam aja,jawab aku..katakan sesuatu Yudha…”ratapku,diamnya Yudha semakin menambah pilu hatiku.

“Kita doakan Pandu,Cuma itu yang bisa kita lakukan. Rayya berhentilah menangis,ambil air wudhu,berdoa,aku akan kasih kabar ke anak-anak yang lain.”Aku hanya diam,kutekan tombol merah di HP ku.

Aku kembali memeluk lututku,menangis lagi dan lagi.Beberapa saat kemudian aku bangkit,berjalan ke kamar mandi.Kuambil air wudhu,sejuk terasa saat air wudhu membasahi mukaku.Hatiku masih perih,aku melangkah gontai ke kamarku. Kubuka al-qur’anku,Surat Yasin.

Kubaca perlahan ayat demi ayat dengan susah payah,jajaran kalam Illahi itu kabur di pandanganku oleh air mata. Sesekali kuusap air mata yang terus mengalir dengan jilbabku,aku berusaha menyelesaikan bacaanku,tapi di tengah bacaan,bayangan Pandu melintas,matanya yang sipit hanya tinggal segaris saat dia tertawa,giginya yang gingsul dan rambut lurusnya yang bergaya spiky. Hatiku serasa dicabik-cabik belati tajam,aku menyurukkan wajahku ke Al-qur’an yang kubaca,menangis sejadi-jadinya. Ya Allah…pegangi hatiku,pegangi aku ya Allah.Kuatkan aku..kuatkan hatiku dalam menjalani takdirMu.

Ya Allah jadikan urusanku dengannya menjadi urusanku denganMu,sampaikan ma’afku padanya Ya  Allah..sampaikan ma’afku.Lapangkan kuburnya,beri dia tempat terbaik di sisihMu.Ampuni segala dosanya dan terimalah semua amal ibadahnya.Kuusap air mataku dan kuteruskan bacaanku hingga selesai.

Aku menutup al-qur’anku dan berjalan ke kasurku yang nyaman,aku membaringkan tubuh mungilku,memejamkan mataku rapat rapat.Aku ingin tidur,aku hanya ingin tidur. Aku ingin bertemu dengannya dalam mimpiku,aku ingin bertemu dengannya. Aku Cuma ingin minta ma’af.

Aku ingin tidur,aku ingin tidur. Supaya besok pagi ketika aku membuka mata nanti,aku menyadari kalo semua yang terjadi ini hanya mimpi buruk.Dan setelah itu aku kembali melihat Pandu di atas motornya, di depan rumahku,menjemputku berangkat sekolah. Aku ingin tidur Ya Allah..tidurkanlah aku.

Tapi..sedekitpun aku gak bisa tertidur meskipun mataku terpejam rapat. Aku bangkit,kuambil lagi Al-qur’an di mejaku,aku membacanya lagi,Cuma itu yang bisa kulakukan saat ini untuk Pandu,aku membacanya berulang-ulang sepanjang malam hingga akhirnya aku jatuh tertidur.
***

Adzan subuh berkumandang,membangunkanku dari tidurku. Aku terkesiap,sontak aku bangkit berdiri. Ya Allah benar kan semua hanya mimpi.Aku berpaling ke cermin di dindingku.Kulihat bayangan diriku,mata sembab itu,lingkar hitam di bawah mata itu tampak sangat jelas disitu. Aku berpaling ke kasurku,tampak olehku al-qur’an yang tergeletak. Semua itu menyadarkanku,kalo aku gak pernah mimpi.Bahwa semua yang terjadi semalam memang nyata,bahwa Pandu memang benar-benar telah meninggalkanku.Hujan kembali turun dari bola mataku.Kuusap air mataku,kemudian  aku berjalan ke kamar mandi mengambil air wudhu,menunaikan sholat Subuhku.

Setelah rutinitas pagi seperti biasanya,aku bersiap-siap ke sekolah.Berjalan kaki menuju pemberhentian bis,yahh..mulai hari ini aku harus terbiasa kembali naik bis seperti semula,karena gak akan ada lagi Pandu yang mengantar jemputku.

Sekonyong perih kembali terasa di ulu hatiku,mataku perih,siap menumpahkan airnya. Begitu perih dan panasnya air mataku,seolah kurasakan yang keluar dari mataku bukanlah air mata,melainkan percikan api.Kuhapus air mataku dengan segera ketika bis berhenti tepat di depan mataku.

“Aku gak boleh nangis lagi. Gak boleh,sudah cukup aku menangis semalaman.”tekadku.
***

Ketika aku turun dari bus,kudapati Gading berjalan di luar gerbang sekolah. Hatiku kembali berdarah ketika kulihat Gading. Mereka begitu mirip dari segi postur,melihat Gading sama halnya aku melihat Pandu di hadapanku.Dengan perasaan berkecamuk kuhampiri Gading,dari jauh kulihat senyum merekah di bibirnya yang merah melihatku bergerak mendekat. Rona mukanya berubah,senyum hilang dari wajahnya ketika melihat mukaku yang sembab.Aku mematung di hadapannya.Gading hanya diam.

“Gading…Pandu..udah gak ada,dia udah meninggal.”kata-kataku itu kembali mengucurkan darah di hatiku.Sekuat tenaga aku bertahan untuk tidak menangis.Tapi..pertahananku luruh sudah ketika kulihat ekspresi Gading. Tidak ada sepatahpun kata yang mampu keluar dari mulutnya,wajahnya kaku,dia tak bergerak seincippun dari tempatnya berdiri.

“Gading kenapa kamu diam aja..”semburku dengan tangisan.Gading masih saja diam,matanya merah,lalu dia berpaling dan berjalan meninggalkanku tanpa suara.Aku msih berdiri di luar gerbang,berusaha menenangkan hatiku.Aku menunduk dalam-dalam,kutelan air mataku.Ketika kuangkat wajahku aku melihat Bang Rizal teman sekelasku,aku biasa memanggilnya dengan panggilan abang.

Bang Rizal menghampiriku dengan pandangan iba. Serta merta dia memelukku,tangisku pecah di pelukannya,aku menangis sejadi-jadinya.

“Bang Rizal…Pandu Bang..”ratapku.Bang rizal mengelus-elus punggungku,berusaha menenangkanku.

“Sabar Ray,ini udah takdirnya,ikhlasin dia,biar dia tenang disana.”lembut suara bang Rizal terdengar di telingaku,aku bangkit dari pelukannya,menghapus air mataku.

“Jangan nangis Rayya,nanti anak-anak yang lain tambah sedih kalo lihat kamu kayak gini”.Aku mengangguk,bang Rizal membimbingku menuju kelasku,dia lingkarkan lengannya di pundakku,aku berusaha menenangkan hatiku.Ya Allah aku tak sanggup menghadapi teman-temanku,aku tak sanggup melihat kesedihan mereka.Aku berhenti  beberapa meter dari pintu,mencoba menguatkan hatiku.Bang Rizal menepuk pundakku memberikan semangat.Dia terus merangkulku seolah aku ini Kristal yang rapuh.Aku terus menunduk.Berdebar jantungku ketika kulangkahkan kakiku memasuki kelas yang biasanya riuh.Pagi ini kelas begitu hening,tak ada lagi suara Prima yang heboh menyanyikan “Ada Apa Denganmu.”

Kuangkat wajahku,kuedarkan pandangan.Kutatap wajah di kelas itu satu per satu. Tampak olehku Prima yang sesunggukan ,menunduk memegangi dahinya. Ramadhan yang biasanya galak,dia menangis tersedu-sedu.Raka,Tyo dan Isnu yang biasanya gagah,mata mereka merah.Yudha,makhluk tanpa eksprei itu,menunduk,matanya merah.Tanjung yang biasanya lucu,kini  memandangku dengan terisak-isak.Kristin  yang memegangi dadanya brusaha menghilangkan sesak karena tangis.Dan dipojok sana,Gading,Gading yang paling melukaiku karena mengingatkanku akan Pandu,sahabat karibnya,dia hanya bisa diam kaku tanpa ekspresi.Gak ada emosi apapun yang terlihat dari wajahnya.Dan terakhir,sahabat-sahabat baikku Rully,Rere dan Rossi yang meraung-raung di mejanya. Semua berduka,semua bersedih,semua kehilangan sosok Pandu yang baik,sosok Pandu yang ramah,sosok Pandu yang ceria,yang pecicilan.Kurasakan kakiku melemas,bang Rizal semakin mempererat pegangannya di bahuku.

“Bang…aku gak kuat Bang..”kurasakan tubuhku roboh begitu saja dibarengi teriakan Rully dan Rere yang berlari ke arahku.Aku memejamkan mataku perih.Samar-samar bisa kurasakan Rere memelukku dan berteriak-teriak histeris begitupun dengan Rully.Rere mengguncang-guncangkan badanku sekuat tenaga. Aku gak bisa membuka mataku Rere,aku gak bisa menggerakkan badanku.Dan kudengar pula suara berdebum,Rully ambruk di sebelahku. Tyo dan Isnu tergopoh ke arahku,kudengar derap langkah dan suara panik mereka,aku merasakan tubuhku diangkat dari lantai itu,entah Tyo,entah Isnu.Hanya itu yang kuingat,sebelum gelap merenggut kesadaranku.
***

Ketika kubuka mataku kulihat langit-langit yang putih,aku menggerakkan kepalaku ke samping,kulihat Isnu,Tio dan Tanjung memandangiku dengan cemas dan iba.

Di sampingnya duduklah Rere yang juga lemas tanpa daya,sedangkan Rully masih berbaring di ranjang satunya,kulihat air mata meleleh dari kedua matanya.

“Udah sadar,minum dulu biar tenang”Tanjung menyodorkan segelas air putih,aku menerimanya.Tyo menggenggam tanganku yang dingin,kemudian mengelus rambutku yang berantakan. Teman-temanku,kalian sungguh baik padaku.

“Jangan nangis,habis ini kita sama-sama takziyah ke rumah Pandu,kamu boleh ikut,tapi jangan nangis”ucap Tyo lembut,sambil tersenyum.Aku memaksakan senyum dan mengangguk.

“Ma kasih Tyo.”ucapku pelan.
***

Tiga hari sudah Pandu pergi meninggalkan kami semua,tapi semua masih beduka,semua masih bersedih. Kelasku tak lagi ramai,kelasku tak lagi riuh. Gak ada lagi gurauan dan candaan. Prima kehilangan mood untuk bernyanyi,Tanjung kehilangan selera untuk melucu. Gading dan Pram tak lagi berlarian kesana-kemari. Semua wajah muram,semua wajah berduka. Tak terkecuali wajahku. Mataku masih bengkak  dan sembab,tiga hari ini kerjaanku tak lain hanya menangis dan tidur. Di semua kesempatan,yang kulakukan hanya tidur dan tidur.Aku ingin tidur dengan harapan bisa bertemu Pandu di alam mimpi kemudian meminta ma’af padanya.Tapi itu tak pernah terjadi. Tak sekalipun dia mampir ke mimpiku.

Siang itu aku duduk di kantin dikelilingi Rully,Rere,Rossi dan Fia.

“Rayya aku tahu ini berat buatmu,tapi kamu harus ikhlas,kasihan Pandu kalo kamu kayak gini terus.Dia nanti gak tenang.”Rossi membuka suara.

“Iya Rayya,ikhlaskan dia. Pandu gak pengen lihat kamu kayak gini.”Fia menambahi.

“Mana Rayyaku yang ceria,yang cerewet,yang tak pernah berhenti ketawa.”Ujar Rere sambil memelukku,Rully hanya diam,mungkin dia sama terpukulnya denganku.

“Aku ikhlas teman-teman,tapi aku belum bisa ngilangin sedihku.Aku gak bisa ngilangin rasa bersalahku.”ucapku pelan.

“Usahakan,demi Pandu,demi ketenangannya.”Fia berkata bijak.Aku mengangguk.

“Nah,sekarang makan,aku tahu kamu dari kemarin belum makan kan?”Rossi menyodorkan sepiring rames padaku.

“Perutku laper ,tapi aku gak bisa makan.”ucapku sambil menunduk.

“Iya tapi kamu harus makan.”Rully memaksaku memegang sendok.Kupandangi nasi di depanku. Kusendok dan kumasukkan ke mulutku. Susah payah aku menelannya,suapan kedua,tiba-tiba bayangan Pandu yang iseng merangkul pundakku berkelebat. Aku menjatuhkan sendokku dan menutup mukaku dengan telapak tanganku. Aku kembali terisak.Air mata merembes dari sela-sela jariku.

“Ma’afkan aku teman-teman,aku gak bisa..”ratapku masih dengan menutup mukaku.

“Rayya..”Rere dan Rully memelukku dengan penuh haru.Rossi dan Fia hanya bisa menyaksikan pemandangan itu dalam diam. Tak tahu harus berbuat apa.

Jauh di ujung sana,ada seseorang yang menyaksikan pemandangan itu tanpa kami sadari. Dia berdiri beberapa meter dari kami menyaksikan tiap kejadian di kantin.Badannya tinggi dan tegap. Mata elangnya yang berwarna coklat dan dinaungi alis yang tebal berkaca-kaca.

“Bro..semoga kamu dengar,aku janji sama kamu,akan aku jaga Rayya buatmu. Aku akan kembalikan senyumnya seperti dulu. Aku janji Bro..”setetes cairan bening meluncur dari matanya yang tajam.Dia berbalik,berjalan menjauh dari kantin. Dari belakang,postur tubuhnya sama persis dengan Pandu hingga orang sulit membedakan. Mereka sama-sama memiliki tubuh yang jangkung dan bahu yang lebar. Mereka juga sama-sama memiliki kulit yang putih bersih dan senyum yang menawan. Dia terus melangkah menjauh dari kantin,hingga sosoknya yang gagah hilang di tikungan.

*"PANDU DEWANATA"(nama disamarkan),meski terlalu singkat kamu mengisi hari-hari kami,meski terlalu singkat kami mengenalmu,tapi kenangan tentangmu tak akan lekang di benak kami. PANDU DEWANATA teman sekelas kami,semoga kamu tenang disana Kawan.T_T

0 komentar:

Posting Komentar